Judul : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
Judul asal : Opening the Door of Your Heart
Penulis : Ajahn Brahm
Penerjemah : Chuang
Penyunting : Handaka Vijjananda
Penggambar sampul : Shinju Arisa, Jeff Liang
Perancang dan piƱata: Vidi Yulius
Penerbit : Awareness Publication
Penulis : Ajahn Brahm
Penerjemah : Chuang
Penyunting : Handaka Vijjananda
Penggambar sampul : Shinju Arisa, Jeff Liang
Perancang dan piƱata: Vidi Yulius
Penerbit : Awareness Publication
Buku ini juga aku temukan ketika jalan-jalan di Gramedia. Melihat covernya saja kelihatan keren+lucu, isinya pasti tidak membosankan (world-wide best seller, terbit 20 bahasa,garansi 100% bila tidak bermanfaat uang kembali…keren kan!!!). Ada buku duanya juga yang tidak kalah keren (sepertinya saya terlambat untuk tahu, tidak apa2 dari pada tidak tahu sama sekali).
Dan ternyata setelah baca bener juga bukunya KEREN BANGET. Di dalamnya 108 berbagai kisah yang menyentuh, menggelikan, dan mencerahkan yang berasal dari pengalaman Ajahn Brahm mengenai pemaafan, pembebasan dari rasa takut, dan pelepasan dukalara, kebijaksanaan dan lain-lain (kayak Mario Teguh Gitu). Buku ini bisa dibaca sewaktu-waktu karena ceritanya yang pendek-pendek sehingga tidak membosankan. Walaupun ditulis oleh seorang biksu-beragama budha tetapi isi dari buku ini sedikitpun tidak memihak satu agama, semua agama itu sama saja. Bahkan Brahm mengeja namanya :
B-untuk Buddhis
R-untuk Roman Catholic (katolik Roma)
A-untuk Aglican (sebuah aliran Kristen)
H-untuk Hindu
M-untuk Muslim
Buku ini diawali oleh sebuah cerita dengan judul "DUA BATA JELEK" yang sangat menarik :
Setelah kami membeli tanah untuk wihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan di atas tanah itu, bahkan sebuah gubukpun tidak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu, pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras tentu saja, kami kan petapa hutan).
Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar di tengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetpi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tak perlu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet. Kenyataannya, ada saja angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tak bias tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.
Kami hanyalah biksu-biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang, bahan-bahan bangunan saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang bagaimana mempersiapkan fondasi, menyemen, dan memasang batu bata, menidirkan atap, memasang pipa-pipa, pokoknya semuanya. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak biasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan sya menjuluki tim saya "BBC" (Buddist Building Company). Tetapi, pada saat memulainya, ternyata bertukang itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai seorang biksu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri di baliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya melihatnya, oh tidak! saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjut tertalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala wihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu meledakannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala wihara bilang tak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa tamu pertama kami berkunjung keliling wihara kami yang baru setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.
"Itu tembok yang indah," ia berkomentar dengan santainya.
"Pak, saya menjawab dengan terkejut, "apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?"
Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, "ya, saya melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bias melihat 998 batu bata yang bagus."
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata yang lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang semurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang, saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak begitu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, "Sebuah tembok yang indah." Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada.
Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi. Berapa banyak orang yang memutuskan buhungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasanganntya adalah "Dua bata jelek"? Berapa banyak di antara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah "Dua bata jelek"? Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata bagus di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek, namun pada saat itu kita tak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkan "sebuah tembok yang indah". (Tulisan Dua Bata Jelek dicopy dari www.uprian.com)
Buku ini diawali oleh sebuah cerita dengan judul "DUA BATA JELEK" yang sangat menarik :
Setelah kami membeli tanah untuk wihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan di atas tanah itu, bahkan sebuah gubukpun tidak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu, pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras tentu saja, kami kan petapa hutan).
Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar di tengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetpi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tak perlu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet. Kenyataannya, ada saja angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tak bias tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.
Kami hanyalah biksu-biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang, bahan-bahan bangunan saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang bagaimana mempersiapkan fondasi, menyemen, dan memasang batu bata, menidirkan atap, memasang pipa-pipa, pokoknya semuanya. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak biasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan sya menjuluki tim saya "BBC" (Buddist Building Company). Tetapi, pada saat memulainya, ternyata bertukang itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai seorang biksu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri di baliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya melihatnya, oh tidak! saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjut tertalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala wihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu meledakannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala wihara bilang tak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa tamu pertama kami berkunjung keliling wihara kami yang baru setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.
"Itu tembok yang indah," ia berkomentar dengan santainya.
"Pak, saya menjawab dengan terkejut, "apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?"
Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, "ya, saya melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bias melihat 998 batu bata yang bagus."
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata yang lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang semurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang, saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak begitu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, "Sebuah tembok yang indah." Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada.
Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi. Berapa banyak orang yang memutuskan buhungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasanganntya adalah "Dua bata jelek"? Berapa banyak di antara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah "Dua bata jelek"? Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata bagus di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek, namun pada saat itu kita tak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkan "sebuah tembok yang indah". (Tulisan Dua Bata Jelek dicopy dari www.uprian.com)
Dari 108 kisah banyak sekali yang bermanfaat, jadi bingung mau nulis yang mana. Nah buat teman-teman buktikan sendiri ya bagaiman ceritanya. bahkan "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya #2", " juga sudah ada dan edisi Kedatangan Ajah Brahn yang berjul "Guru Si Cacing Datang"